27
Ramadhan 1434 Hijriah, mesjid-mesjid telah ramai dengan orang-orang yang akan
berkhalwat, memesrai Rabb-Nya untuk i’tikaf di 10 hari terakhir ramadhan. Pun
mesjid Habiburahman Bandung, sebagai salah satu mesjid yang sangat ramai oleh
jemaah-jemaah i’tikaf.
Biasanya malam ke 27 jadi puncak itikaf
disana, jumlah peserta yang datang sangat banyak hingga luber ke teras mesjid,
tenda-tenda yang didirikan pun semakin banyak yang berdiri. Biasanya sebelum
qiyamul lail yang menghabiskan 3 juz semalam itu, saya memilih untuk tidur
sebentar agar nanti ketika shalat segar. Tapi rupanya karena melubernya jemaah
yang datang, saya mengurungkan niat tersebut karena nyaris tidak ada lagi ruang
untuk sekedar merebahkan tubuh. Akhirnya saya dan beberapa kawan memilih
terjaga dengan berbagai aktifitas, salah satunya adalah perbincangan tentang gubernur
kami yang baru saja terpilih kembali, apakah ramadhan tahun ini beliau akan
itikaf lagi disini seperti tahun-tahun sebelumnya?
Pukul 1 dinihari shalat malam dimulai. Imam
shalat, Ust. Abdul Aziz Abdul Rauf Al-Hafidz memulai rakat-rakaat panjang kami
malam itu, lalu kami jatuh syahdu dalam keheningan malam dengan lantunan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyayat hati. Selesai rakaat kedua ketika salam ke
sebelah kiri saya terhenyak, gubernur kami Ahmad Heryawan sudah ada di antara
kami, tepatnya di shaf ke 3. Beberapa jemaah yang lain juga tampak kaget dengan
kehadiran gubernur yang juga ulama ini di tengah-tengah mereka. Tanpa ada iring-iringan,
protokoler atau sirine yang memecah keheningan malam, beliau tiba-tiba saja ada
di tengah jemaah tanpa meminta diistimewakan untuk maju ke shaf terdepan. Beliau
diam ditempatnya semula, duduk bersama jemaah yang lain, larut dalam shalat
malam dan lantunan panjang ayat-ayat Al-Qur’an. Dan seperti biasanya, di
sela-sela rakaat demi rakaat itu beliau melaluinya dengan tilawah Al-Qur’an.
Saya tersenyum, bersyukur kepada Allah bisa
kembali melihat beliau disini. Walau ini bukan pertama kalinya saya melihatnya
menghabiskan beberapa malam dimesjid ini, tapi kesan kagum dan syukur itu tak
pernah pudar. Bagaimana tidak, bagi saya ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Cita
memiliki pemimpin yang shaleh sungguh menjadi impian yang sejak sangat lama
mengusik-ngusik jiwa, maka ketika melihat beliau saat itu, tak ada yang lebih
bisa diucapkan selain syukur atas anugrah besar yang Allah berikan berupa
pemimpin yang shaleh; pemimpin yang menghabiskan malam larut dalam taqarrub
kepada-Nya, mengharap rahmat dan ampunan-Nya, membaca kalam-kalam-Nya, berbaur
bersama rakyat tanpa sekat dan tak mengharapkan keistimewaan apapun.
Selesai witir saya lalu kehilangan beliau,
saya mencoba mencarinya di shaf terdepan barangkali beliau berpindah tempat, ternyata
beliau sudah tidak ada, pun beberapa jemaah yang lain jatuh dalam tanya; kemana
kang Aher? Lagi-lagi beliau datang dan pergi dalam senyap. Saya lalu mencoba
menjawab, mungkin beliau kelelahan setelah serangkaian agenda padat hari itu,
lalu memilih sahur bersama keluarganya tercinta di gedung pakuan. Namun
ternyata perkiraan saya itu salah, dari beberapa informasi dari sosial media
ternyata beliau sudah ada di mesjid Daarut Tauhiid, sahur dan shubuh disana.
Masya Allah, saya lagi, lagi dan lagi jatuh kagum, ternyata agenda beliau menemui
belum juga selesai sampai shubuh.
Ada pada sebagian orang yang hanya
membutuhkan satu alasan untuk mencintai seseorang, tapi bagi saya, untuk sosok
seperti Kang Aher terlalu sedikit untuk mencintainya karena satu alasan,
terlalu banyak alasan untuk mencintainya. Pemimpin yang baik, taat, shaleh, kompeten,
professional sejatinya telah cukup bagi saya untuk mengucupkan syukur yang
dalam, tapi beliau lebih dari itu. Tak ada yang bisa banyak saya lakukan selain
do’a; semoga Allah senantiasa mencintai dan menjaganya. Seperti datang dan
perginya beliau untuk itikaf dalam senyap, seperti itulah juga kami akan
mencintai dan mendo’akannya; dalam senyap, tanpa ia mengetahuinya, menyadarinya,
insya Allah.